WALHI/Friends of the Earth Indonesia
Jakarta, 14 Mei 2008 —
Rencana pemerintah menaikkan kembali harga BBM mendapat protes keras
dari sejumlah nelayan yang tergabung dalam Komite Persiapan Organisasi
Nelayan Nasional Indonesia (KPNNI) dan sejumlah organisasi sipil di
Jakarta.
“Pemerintahan SBY-Kalla telah berlaku tidak adil
terhadap nelayan tradisional Nusantara. Hal ini terlihat dari kebijakan
energi dan pangan nasional yang tidak memihak nelayan tradisional,”
tegas Tiarom dari Forum Komunikasi Nelayan Jakarta (FKNJ), anggota
KPNNI.
Pada praktiknya, nelayan tradisional selalu dirugikan
oleh kebijakan energi reaktif ini. Bayangkan, nelayan tradisional harus
mengeluarkan ongkos ekstra untuk mendapatkan BBM. Tiarom menambahkan,
“Nelayan tradisional selalu mendapatkan harga lebih mahal ketimbang
harga BBM berdasar ketetapan pemerintah. Penyebabnya, beban biaya
distribusi BBM selalu ditimpakan kepada nelayan tradisional. Padahal,
hampir 50% dari biaya produksi yang dikeluarkan oleh nelayan
tradisional diperuntukkan untuk memeli BBM. Selebihnya untuk membeli
umpan, alat tangkap, es, perbaikan perahu, dan sebagainya”.
Berpijak pada realitas ini, semestinya Pemerintahan SBY-Kalla tidak
menggunakan kenaikan BBM sebagai kebijakan energi nasional. Selain
terlihat reaktif, kebijakan ini lebih mencerminkan kegagalan
pemerintah. Terlebih, hak atas energi seluruh warga negara Indonesia,
tak terkecuali nelayan tradisional, belum dipenuhi secara adil.
“Dari perspektif sosial-ekonomi, nelayan tradisional adalah kelompok
masyarakat paling rentan dan paling dirugikan oleh kebijakan energi
pemerintahan SBY-Kalla. Bisa dilihat, misalnya, kebijakan konversi BBM
ke gas. Kebijakan ini sama sekali tidak memiliki relevansi terhadap
kebutuhan sosial-ekonomi dan budaya masyarakat pesisir dan nelayan
tradisional. Apalagi kebijakan menaikkan harga BBM,” tegas Dedy
Ramanta, koordinator nasional KPNNI.
“Mengacu pada sejarah
kebijakan energi nasional,” sebut Riza Damanik, Manajer Kampanye
Pesisir dan Laut Eksekutif Nasional WALHI, “ada lima hal yang
mencerminkan ketidakadilan kebijakan energi nasional terhadap nelayan
tradisional Indonesia.” Kelima hal itu adalah sebagai berikut:
- Harga
BBM yang diterima oleh nelayan, 80% lebih mahal dari harga yang
ditetapkan pemerintah, bahkan bisa mencapai lebih dari 300% untuk
mereka yang tinggal di pulau-pulau kecil. Hal ini dikarenakan biaya
distribusi masih ditanggung penuh oleh nelayan.
- Tiadanya
kesungguhan pemerintah untuk memberikan akses terhadap energi secara
mudah saji dan berkelanjutan kepada keluarga nelayan.
- Dalam
situasi pemerintah belum mampu memberikan kemudahan akses (distribusi)
BBM kepada nelayan, serta menjamin ketersediaan BBM dengan harga yang
murah, pemerintah justru mengkriminalisasi perilaku (pola adaptasi)
nelayan untuk mendapatkan BBM dengan menyebutkan nelayan di sejumlah
daerah penjahat energi (baca: penimbun).
- Skema Bantuan
Langsung Tunai (BLT) yang telah dijalankan oleh Pemerintah SBY-Kalla
tidak mampu menyelesaikan masalah terkait dengan dampak kenaikan BBM di
kalangan nelayan, khususnya nelayan tradisional.
- Kebijakan
kenaikan BBM semakin memperparah kehidupan nelayan. Terlebih, kebijakan
ini muncul bersamaan dengan diterbitkannya Keputusan Menteri Kelautan
No. 06 Tahun 2008 Tentang Penggunaan Jaring Trawl; dan kebijakan
kelautan lainnya, khususnya UU No. 27 Tahun 2007 Tentang Pengelolaan
Pesisir dan Pulau-pulau Kecil, dimana kebijakan ini secara tegas
memprivatisasi wilayah hidup dan wilayah tangkap nelayan tradisional
Indonesia.
Fiki Ikrom Ibrahim,
from
http://www.walhi.or.id/info selengkapnya, hubungi:
Tiarom, Forum Komunikasi Nelayan Jakarta (FKNJ): 0881.1527.166
Dedy Ramanta, Koordinator Nasional Komite Persiapan Nasional Organisasi Nelayan Nasional Indonesia (KPNNI) :081314919254
M.Riza Damanik, Manajer Kampanye Pesisir dan Laut Eksekutif Nasional WALHI:0818773515